Candi Bahal(Candi Portibi)
Inilah jejak agama Budha di Provinsi Sumatera Utara, berlokasi di Kabupaten Padang Lawas, sekitar 400 km dari Kota Medan. Candi ini disebut juga Candi Portibi dan diperkirakan sezaman dengan Candi Muara Takus di Riau yakni sekitar abad XII. Lokasinya di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara atau sekitar 3 jam perjalanan dari Padang Sidempuan. Candi ini didirikan oleh Raja Rajendra Cola yang menjadi Raja Tamil Hindu Siwa, di India Selatan dan diperkirakan sudah berusia ribuan tahun. Kerajaan Portibi merupakan kerajaan yang unik yaitu dari segi namanya yaitu Portibi. Portibi dalam bahasa Batak artinya dunia atau bumi. Para ahli lainnya menyebut candi ini berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Pannai sebagai daerah yang ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Para peneliti mengungkapkan bahwa candi di desa Bahal ini adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km² di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Karena lokasinya di tengah persawahan yang sangat luas, penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan nama Candi Padang Lawas atau ‘candi di padang Iuas’. Kompleks Candi Bahal terdiri dari tiga buah candi yang masing-masing terpisah sekitar 500 meter. Beberapa kilometer dari candi ini ada pula kompleks Candi Pulo.
Candi Bahal disebut biaro oleh masyarakatnya adalah kompleks candi yang terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah, kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding setinggi sekitar 60 cm. Candi Bahal ini berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan. Diperkirakan dulunya hutan di hulu sungai tersebut mampu menyediakan persediaan air yang cukup. Akan tetapi, sekarang debitnya kecil, dangkal, dan mustahil jadi sarana transportasi.
Bangunan utama Candi Bahal I merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bangunan utama Candi Bahal II dan III. Bangunan utama ini terdiri atas susunan tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 7 m² dengan tinggi sekitar 180 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama terletak di tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang.
Beberapa ahli yang sudah melakukan riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.
Arkeolog Jerman F.M. Schinitger tahun 1935 meneliti candi ini berdasarkan prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dan dibuat oleh Raja Coladewa dari India Selatan tahun 1030. Raja ini menaklukkan Pannai merujuk catatan I-tsing. Schinitger menyimpulkan candi ini berkaitan dengan agama Budha aliran Wajrayana yang berbeda dengan ajaran Budha sekarang. Hal ini yaitu berciri bengis melihat pada arca berwajah raksasa dengan raut muka menyeramkan. Begitu pula relief pada dinding candi yang menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat pada upacara-upacara yang sadis. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan.
Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat. Bambang Budi Utomo, seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menuliskan di Harian Kompas, Jumat, 23 September 2005, “Tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia”.
Dalam aliran Budha Wajrayana ada upacara tantrayana yang digambarkan sebagai tindakan sadis dimana tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Ada juga upacara bhairawa yang dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, dapat menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Agar lebih sakti, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi).
Sekarang rumput-rumput memenuhi kawasan candi dan sayang kurang terawat candinya. Candi dikelilingi padang ilalang luas, tandus, dan sering dipakai untuk tempat merumput hewan ternak. Sebagai tanaman peneduh, biasanya tanaman balakka dipakai penggembala untuk berlindung dari sengatan matahari. Walaupun bangunannya masih baik, namun pada dinding candi yang terbuat dari batu bata merah tersebut penuh dengan coretan.
Meski merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir di sekitarnya. Masyarakat sekitar, mengetahui ada komplek percandian namun tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu.
Candi Bahal sendiri sudah resmi dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah. Tempat ini hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru. Pengunjungnya adalah masyarakat desa sekitar Padang Bolak dan Barumun. Kondisi terakhir Jalan menuju candi ini berlumpur dan tidak terawat.
Transportasi
Komplek candi ini berada di bukit kecil yang dikelilingi lembah berupa lahan persawahan. Tepatnya di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sekitar 80 km dan 3 jam perjalanan dari Padang Sidempuan. Jalan pintu masuk menuju desa Bahal ditempuh lewat Simpang Portibi di kota Gunungtua dari Padang Sidempuan
Dari Medan berjarak 400 km, Anda dapat tiga kali naik angkutan, Medan-Padang Sidempuan, Padang Sidempuan-Padang Bolak serta Padang Bolak-Desa Bahal, jarak tempuh sekitar 12 jam.
Akomodasi
Ada beberapa referensi tempat menginap untuk Anda berikut ini.
Hotel Tor Sibohi Nauli
Jl. Raya Padang Sidempuan Tarutung, Sipirok 22742
No Telepon: (0634) 21725, 21710
Fax: (0634) 21910
Pondok Salero
Jl. Merdeka Sipirok
Wisma Medianmar
Jl. Merdeka Sipirok
Pancoran Mas
Batang Toru
Kegiatan
Kuliner
Berkeliling
Berbelanja
Tips
Top Attractions
Para peneliti mengungkapkan bahwa candi di desa Bahal ini adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km² di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Karena lokasinya di tengah persawahan yang sangat luas, penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan nama Candi Padang Lawas atau ‘candi di padang Iuas’. Kompleks Candi Bahal terdiri dari tiga buah candi yang masing-masing terpisah sekitar 500 meter. Beberapa kilometer dari candi ini ada pula kompleks Candi Pulo.
Candi Bahal disebut biaro oleh masyarakatnya adalah kompleks candi yang terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah, kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding setinggi sekitar 60 cm. Candi Bahal ini berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan. Diperkirakan dulunya hutan di hulu sungai tersebut mampu menyediakan persediaan air yang cukup. Akan tetapi, sekarang debitnya kecil, dangkal, dan mustahil jadi sarana transportasi.
Bangunan utama Candi Bahal I merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bangunan utama Candi Bahal II dan III. Bangunan utama ini terdiri atas susunan tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 7 m² dengan tinggi sekitar 180 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama terletak di tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang.
Beberapa ahli yang sudah melakukan riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.
Arkeolog Jerman F.M. Schinitger tahun 1935 meneliti candi ini berdasarkan prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dan dibuat oleh Raja Coladewa dari India Selatan tahun 1030. Raja ini menaklukkan Pannai merujuk catatan I-tsing. Schinitger menyimpulkan candi ini berkaitan dengan agama Budha aliran Wajrayana yang berbeda dengan ajaran Budha sekarang. Hal ini yaitu berciri bengis melihat pada arca berwajah raksasa dengan raut muka menyeramkan. Begitu pula relief pada dinding candi yang menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat pada upacara-upacara yang sadis. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan.
Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat. Bambang Budi Utomo, seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menuliskan di Harian Kompas, Jumat, 23 September 2005, “Tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia”.
Dalam aliran Budha Wajrayana ada upacara tantrayana yang digambarkan sebagai tindakan sadis dimana tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Ada juga upacara bhairawa yang dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, dapat menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Agar lebih sakti, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi).
Sekarang rumput-rumput memenuhi kawasan candi dan sayang kurang terawat candinya. Candi dikelilingi padang ilalang luas, tandus, dan sering dipakai untuk tempat merumput hewan ternak. Sebagai tanaman peneduh, biasanya tanaman balakka dipakai penggembala untuk berlindung dari sengatan matahari. Walaupun bangunannya masih baik, namun pada dinding candi yang terbuat dari batu bata merah tersebut penuh dengan coretan.
Meski merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir di sekitarnya. Masyarakat sekitar, mengetahui ada komplek percandian namun tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu.
Candi Bahal sendiri sudah resmi dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah. Tempat ini hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru. Pengunjungnya adalah masyarakat desa sekitar Padang Bolak dan Barumun. Kondisi terakhir Jalan menuju candi ini berlumpur dan tidak terawat.
Transportasi
Komplek candi ini berada di bukit kecil yang dikelilingi lembah berupa lahan persawahan. Tepatnya di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sekitar 80 km dan 3 jam perjalanan dari Padang Sidempuan. Jalan pintu masuk menuju desa Bahal ditempuh lewat Simpang Portibi di kota Gunungtua dari Padang Sidempuan
Dari Medan berjarak 400 km, Anda dapat tiga kali naik angkutan, Medan-Padang Sidempuan, Padang Sidempuan-Padang Bolak serta Padang Bolak-Desa Bahal, jarak tempuh sekitar 12 jam.
Akomodasi
Ada beberapa referensi tempat menginap untuk Anda berikut ini.
Hotel Tor Sibohi Nauli
Jl. Raya Padang Sidempuan Tarutung, Sipirok 22742
No Telepon: (0634) 21725, 21710
Fax: (0634) 21910
Pondok Salero
Jl. Merdeka Sipirok
Wisma Medianmar
Jl. Merdeka Sipirok
Pancoran Mas
Batang Toru
Kegiatan
Kuliner
Berkeliling
Berbelanja
Tips
Top Attractions
Tidak ada komentar: